Setiap 10 November kita selalu
mengibarkan bendera merah putih satu tiang penuh. Upacara penghormatan pun
dilakukan untuk memperingati Hari Pahlawan Nasional. Kegiatan tahunan ini
menjadi satu refleksi bagi kita semua untuk mengenang jasa-jasa besar para
pahlawan Indonesia yang dengan ikhlas mengorbankan segenap jiwa dan raga yang
dimiliki sampai tetes darah penghabisan. Semua itu demi satu tujuan:
Kemerdekaan! Merdeka dari penghisapan, merdeka dari penjajahan, dan merdeka
dari penindasan kolonial. Soekarno pernah berkata bahwa bangsa yang besar
adalah bangsa yang tidak pernah lupa akan jasa para pahlawannya. Maka dari itu,
jangan pernah sekalipun melupakan sejarah.
Lebih dari itu, refleksi ini menjadi
satu permenungan kita bersama, sejauh mana kita sebagai angkatan muda (baca:
mahasiswa), kaum intelektual terpelajar mampu menjadi bagian dalam proses
pembangunan bangsa ini ke depan? Hal signifikan apa saja yang telah kita
perbuat di dalam arus persaingan yang go global ini? Karena seperti apa
yang dikatakan oleh Soe Hok Gie bahwa kitalah generasi yang akan memakmurkan
Indonesia.
Hal inilah yang secara kongkrit
harus kita jawab bersama. Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan
pahlawan-pahlawan baru untuk mewujudkan kehidupan massa rakyat yang demokratis
secara politik, adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi, dan partisipatif secara
budaya.
Pengalaman-pengalaman besar harus
dijemput bukan hanya melalui analisa tapi juga karya-karya penting untuk
menggugah kesadaran yang sudah lama terlelap. Di dunia pemikiran kita bukan
sekedar membutuhkan gagasan-gagasan baru melainkan juga ‘alat baca’ yang
berpihak atas massa rakyat yang tertindas. Intelektual adalah bagian dari arus
massa tertindas dan sebaiknya mengerti, memahami, dan menyelami kehidupan
mereka. Hal ini tak akan bisa dimengerti jika mengetahui kehidupan hanya
sebatas kegiatan-kegiatan pelatihan, workshop, rapat, seminar, diskusi atau
penelitian ‘pesanan’. Kegiatan itu hanya akan meningkatkan pendapatan bukan
pemahaman atas kenyataan sosial. Membuang keyakinan lama mungkin jadi syarat
utama menuju pada tugas serta mandat seorang intelektual terpelajar.
Pahlawan-Pahlawan Baru
Sebuah keniscayaan memang apabila
setiap jaman akan melahirkan anak jamannya masing-masing. Disinilah peran
generasi muda tak pernah putus dari sejarah bangsa ini. Jika kita menilik ke
belakang, dulu kaum terpelajar yang memperoleh kesempatan untuk menikmati
pendidikan mempunyai satu cita-cita besar bagaimana bangsa ini bisa merdeka
dari belenggu penindasan kolonial. Mereka tidak hanya mempunyai gagasan besar
tentang perubahan, tidak hanya berhenti pada satu forum diskusi, tetapi ada
satu tindakan riil bagaimana melakukan proses transformasi nilai terhadap massa
rakyat yang tertindas. Jalan itupun mereka dapatkan dengan cara
mengorganisasikan diri.
Tidak hanya itu, mereka juga membuat
terbitan-terbitan cetak dalam proses transformasi nilai kepada massa rakyat.
Perlawanan terhadap Belanda memasuki babak baru. Tak sekedar dengan rencong dan
keris, tetapi juga dengan pena dan kertas (baca: ilmu pengetahuan). Itulah
sebabnya Ben Anderson, lewat esai panjang Immagined Communities, menulis: Selain
runtuhnya kekuasaan universal (gereja Katolik-Roma) dan kerajaan-kerajaan
dinastik, berkembangnya penerbitan dan percetakan yang memungkinkan tulisan
para pemimpin pergerakan makin banyak dibaca khalayak adalah elemen terpenting
dari kelahiran nasionalisme.
Tugas kita saat ini adalah memberi
makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan
zaman. Saat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, rakyat telah
mengorbankan nyawanya. Kita wajib menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa
mereka. Karena itulah hari Pahlawan harus kita peringati dan refleksikan.
Namun, kepahlawanan tidak hanya
berhenti di sana. Dalam mengisi kemerdekaan pun kita dituntut untuk menjadi
pahlawan. Bukankah arti pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena
keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran? Bukankah makna pahlawan
itu adalah pejuang gagah berani? Bukankah makna kepahlawanan tak lain adalah
perihal sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, dan kerelaan berkorban?
Saat negara nasibnya terseok seperti
sekarang dimana rakyat hidupnya diperas, perubahan hanya jadi menu diskusi,
saat itulah maka gerakan progresif kaum intelektual terpelajar menjadi satu
kebutuhan mendesak. Seorang terpelajar bukan semata-mata sosok yang mencintai
pengetahuan, tapi bagaimana dapat dan mampu memberikan gagasan-gagasan tentang
perubahan. Karena itulah, solusi-solusi baru dan tindakan konkrit untuk
perubahan sosial mutlak dibutuhkan.
Saya masih ingat jelas ungkapan
satir yang pernah dituliskan Romo Mangunwijaya: Apa guna kita memiliki
sekian ratus ribu alumni sekolah yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan
bodoh? Segeralah kaum sekolah itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan
modal kepintaran mereka. Semoga ini bisa menjadi permenungan kita bersama –
sebagai ‘intelektual terpelajar’ – dalam merefleksikan peringatan hari Pahlawan
dan mengisi kemerdekaan ini dengan penuh makna.
0 komentar:
Posting Komentar