Oleh: Amma Sabrina Mashitah
foto: pinterest
“Sayang
sekali ya, dengan nilai setinggi itu”.
“Kalau
jadi kamu, aku mungkin sudah mendaftar di Perguruan tinggi di Ibu Kota“.
Aku
hanya mengulum senyum mendengar ucapan kedua temanku sembari berseloroh.
“Aku
itu gampang sekali homesick tahu, dan itu merepotkan. Kuliah di Ibu kota dan
jauh dari orang tua? Rasanya pundakku belum kuat untuk menanggungnya haha “.
Tawaku
terdengar canggung. Sial sekali, ternyata sulit untuk berbohong didepan mereka! Aku harus
menahan hidungku untuk tidak kembang kempis, sesuatu yang terus terjadi ketika
aku sedang berbohong. Hal tersebut sering disebut dengan syndrom pinokio.
“Kamu
lagi nggak berbohong kan ma? Hidung kamu kayaknya kembang kempis deh“ Winda mulai
curiga.
“Haha
si... siapa bilang? Ini gara-gara banyak sekali debu dirungan ini, hidungku
jadi gatal dan ingin bersin-bersin“. Aku sedikit tergagap, dan sebelum kedua
temanku semakin curiga aku langsung pamit diri untuk pergi ke kantin.
“Udah
ah... Laper. Ke kantin dulu ya!“. Dengan
langkah cepat aku menyusuri koridor sekolah yang ramai di jam istirahat.
***
Diluar
hujan, suaranya terdengar bergemuruh ketika menyentuh genteng rumah. Ibu sudah
menutup pintu sedari tadi, menguncinya dengan dua kali putaran hingga terdengar
bunyi krek. Ibu juga bilang tidak akan ada yang ingin bertamu dicuaca seperti
ini. Ya, aku setuju. Orang-orang tentu lebih memilih untuk berteduh dan
berlindung didalam rumahnya masing-masing, atau malah meringkuk dibawah selimut
sembari mendengarkan album-album westlife persis seperti apa yang sering aku
lakukan.
Sayangnya
sekarang aku terjebak di ruang keluarga, demi membahas hal yang aku anggap sangat
sakral.
“
Yah, Bu kakak lolos jadi peserta SNMPTN”. Ujarku membuka pembicaraan malam itu.
Ayah
yang tengah serius membaca koran kala itu lantas mengalihkan pandangannya kearahku
“ Bagus dong Kak ! berarti Kakak bisa
masuk kuliah tanpa tes.“
“Dan
lantas tinggal pilih universitas dan jurusan yang ingin ditujukan Kak?“. Tanya
ibu sembari tetap sibuk membantu adikku
membuat prakarya dari kerang.
“Hmmm
iya sih Bu, tapi kan Kakak harus konsultasi sama Ibu dan Ayah dulu mau milih
universitas apa“.
Ayah
dan ibu tampak berpandangan, sejurus kemudian ayah langsung melipat koran dan
menaruhnya diatas meja. Ibu menyusul dengan menyuruh adik untuk membuat
prakaryanya sendiri. Aku tertegun, tak biasanya seperti ini. Meninggalkan koran
yang sedang dibaca? Berarti obrolan ini akan menjadi sangat penting.
“jadi
kak.... “ ayah mulai membuka suara, dan sesekali ditimpali oleh pernyataan dari
ibu.
Aku
mengangguk, mencoba mengerti setiap kata-kata yang aku dengar. Sayang sekali,
jawaban yang diberikan oleh ayah dan ibu tampaknya tak sesuai dengan apa yang
aku harapkan.
“Manusia
itu harus memilih ketika mempunyai
pilihan. Tapi harus ikhlas menerima ketika pilihan itu yang memilih dia.“ Ayah
menutup pembicaraan malam ini , lagi-lagi dengan kata yang tak bisa aku pahami.
***
Sudah
30 menit aku duduk di bangku semen, yang panjangnya hanya 120 cm tetapi dipaksa
untuk menampung 8 orang. Hebatnya tidak ada yang meringis, mengeluh kesempitan.
Termasuk aku. Ya, kita semua sedang menunggu gathering pertama sebagai
mahasiswa baru jurusan Ilmu komunikasi. Dan tentunya hari ini akan sangat
ramai.
“Siapa?“
“Ramah,
kamu?“
“Dian
dari Palembang “. Ujarnya sambil tersenyum kearahku.
Hebat
sekali, hanya dalam 30 menit aku sudah mendapatkan 20 teman baru. Setidaknya itu
yang aku ingat. Sekarang tinggal bagaimana caraku mengingat mereka semua,
supaya dilain waktu dapat menyapa mereka dengan nama yang benar.
Tak
berapa lama kakak-kakak senior menyuruh kami masuk ke ruang 11 di GB 2. Ruangan
paling besar yang cukup menampung kami yang berjumlah 128 orang. Satu persatu
topik mulai menjadi bahan pembicaraan diruangan ini, dari mengapa kami harus
bersyukur masuk ilmu komunikasi hingga mengapa kami harus bertahan disini
hingga akhir.
Aku
duduk ditengah, dideretan bangku no lima. Menikmati setiap pembicaraan, dan
mengamati setiap pembicara. Dan untuk pertama kalinya aku tak menyesali pilihan
yang aku telah aku buat.
Sekarang
aku mulai mengerti setiap kata-kata ayah dan ibu malam itu. aku memang tak
sepantasnya memaksa kuliah di Ibu kota, apalagi dalam keadaan seperti ini.
Adikku, Dillah juga harus melanjutkan sekolah di jenjang SMA. Dan tampaknya ibu
juga begitu khawatir dengan sikapku yang jauh dari kata mandiri.
“Untuk
mandi 2 hari sekali saja, Kakak harus dingatkan Kak“. Ucap ibu malam itu dengan
raut penuh kecemasan. Takut sekali anaknya tak akan mandi jika jauh darinya.
Aku
menarik nafas panjang. Ternyata ayah benar, manusia itu harus memilih ketika
mempunyai pilihan. Tapi harus ikhlas menerima ketika pilihan itu yang memilih
dia. Toh, Tuhan selalu mempunyai skenario indah disetiap waktunya, bukan?
0 komentar:
Posting Komentar