Minggu, 03 Desember 2017

PILIHAN


Oleh: Amma Sabrina Mashitah
foto: pinterest

“Sayang sekali ya, dengan nilai setinggi itu”.
“Kalau jadi kamu, aku mungkin sudah mendaftar di Perguruan tinggi di Ibu Kota“.
Aku hanya mengulum senyum mendengar ucapan kedua temanku sembari berseloroh.
“Aku itu gampang sekali homesick tahu, dan itu merepotkan. Kuliah di Ibu kota dan jauh dari orang tua? Rasanya pundakku belum kuat untuk menanggungnya haha “.
Tawaku terdengar canggung. Sial sekali, ternyata sulit  untuk berbohong didepan mereka! Aku harus menahan hidungku untuk tidak kembang kempis, sesuatu yang terus terjadi ketika aku sedang berbohong. Hal tersebut sering disebut dengan syndrom pinokio.
“Kamu lagi nggak berbohong kan ma? Hidung kamu kayaknya kembang kempis deh“ Winda mulai curiga.
“Haha si... siapa bilang? Ini gara-gara banyak sekali debu dirungan ini, hidungku jadi gatal dan ingin bersin-bersin“. Aku sedikit tergagap, dan sebelum kedua temanku semakin curiga aku langsung pamit diri untuk pergi ke kantin.
“Udah ah... Laper. Ke kantin dulu ya!“.  Dengan langkah cepat aku menyusuri koridor sekolah yang ramai di jam istirahat.
***
Diluar hujan, suaranya terdengar bergemuruh ketika menyentuh genteng rumah. Ibu sudah menutup pintu sedari tadi, menguncinya dengan dua kali putaran hingga terdengar bunyi krek. Ibu juga bilang tidak akan ada yang ingin bertamu dicuaca seperti ini. Ya, aku setuju. Orang-orang tentu lebih memilih untuk berteduh dan berlindung didalam rumahnya masing-masing, atau malah meringkuk dibawah selimut sembari mendengarkan album-album westlife persis seperti apa yang sering aku lakukan.
Sayangnya sekarang aku terjebak di ruang keluarga, demi membahas hal yang aku anggap sangat sakral.
“ Yah, Bu kakak lolos jadi peserta SNMPTN”. Ujarku membuka pembicaraan malam itu.
Ayah yang tengah serius membaca koran kala itu lantas mengalihkan pandangannya kearahku “ Bagus dong Kak ! berarti Kakak  bisa masuk kuliah tanpa tes.“
“Dan lantas tinggal pilih universitas dan jurusan yang ingin ditujukan Kak?“. Tanya ibu sembari tetap sibuk  membantu adikku membuat prakarya dari kerang.
“Hmmm iya sih Bu, tapi kan Kakak harus konsultasi sama Ibu dan Ayah dulu mau milih universitas apa“.
Ayah dan ibu tampak berpandangan, sejurus kemudian ayah langsung melipat koran dan menaruhnya diatas meja. Ibu menyusul dengan menyuruh adik untuk membuat prakaryanya sendiri. Aku tertegun, tak biasanya seperti ini. Meninggalkan koran yang sedang dibaca? Berarti obrolan ini akan menjadi sangat penting.
“jadi kak.... “ ayah mulai membuka suara, dan sesekali ditimpali oleh pernyataan dari ibu.
Aku mengangguk, mencoba mengerti setiap kata-kata yang aku dengar. Sayang sekali, jawaban yang diberikan oleh ayah dan ibu tampaknya tak sesuai dengan apa yang aku harapkan.
“Manusia itu  harus memilih ketika mempunyai pilihan. Tapi harus ikhlas menerima ketika pilihan itu yang memilih dia.“ Ayah menutup pembicaraan malam ini , lagi-lagi dengan kata yang tak bisa aku pahami.
***
Sudah 30 menit aku duduk di bangku semen, yang panjangnya hanya 120 cm tetapi dipaksa untuk menampung 8 orang. Hebatnya tidak ada yang meringis, mengeluh kesempitan. Termasuk aku. Ya, kita semua sedang menunggu gathering pertama sebagai mahasiswa baru jurusan Ilmu komunikasi. Dan tentunya hari ini akan sangat ramai.
“Siapa?“
“Ramah, kamu?“
“Dian dari Palembang “. Ujarnya sambil tersenyum kearahku.
Hebat sekali, hanya dalam 30 menit aku sudah mendapatkan 20 teman baru. Setidaknya itu yang aku ingat. Sekarang tinggal bagaimana caraku mengingat mereka semua, supaya dilain waktu dapat menyapa mereka dengan nama yang benar.
Tak berapa lama kakak-kakak senior menyuruh kami masuk ke ruang 11 di GB 2. Ruangan paling besar yang cukup menampung kami yang berjumlah 128 orang. Satu persatu topik mulai menjadi bahan pembicaraan diruangan ini, dari mengapa kami harus bersyukur masuk ilmu komunikasi hingga mengapa kami harus bertahan disini hingga akhir.
Aku duduk ditengah, dideretan bangku no lima. Menikmati setiap pembicaraan, dan mengamati setiap pembicara. Dan untuk pertama kalinya aku tak menyesali pilihan yang aku telah aku buat.
Sekarang aku mulai mengerti setiap kata-kata ayah dan ibu malam itu. aku memang tak sepantasnya memaksa kuliah di Ibu kota, apalagi dalam keadaan seperti ini. Adikku, Dillah juga harus melanjutkan sekolah di jenjang SMA. Dan tampaknya ibu juga begitu khawatir dengan sikapku yang jauh dari kata mandiri.
“Untuk mandi 2 hari sekali saja, Kakak harus dingatkan Kak“. Ucap ibu malam itu dengan raut penuh kecemasan. Takut sekali anaknya tak akan mandi jika jauh darinya.

Aku menarik nafas panjang. Ternyata ayah benar, manusia itu harus memilih ketika mempunyai pilihan. Tapi harus ikhlas menerima ketika pilihan itu yang memilih dia. Toh, Tuhan selalu mempunyai skenario indah disetiap waktunya, bukan? 

0 komentar:

Posting Komentar