Jumat, 06 September 2013

“Rumah Perteduhan”

17 April 2013 pukul 16:20

Hujanyang menghantar perjalanan malam kita menjemput kenangan- kenangan, dan kitamasih saja menyimpannya utuh pada bagian yang paling khusus di ruang- ruanghati yang tak pernah kita bongkar lagi. Juga harapan yang kita semat dalamdada, setelah sekian lama membendungnya pada pikiran- pikiran sederhana. Akulahir juga, di jemput rindu yang entah beberapa tahun silam menjadi mimpi besardi rumah idaman anak- anak jalanan.

Rumahini kunamakan perteduhan, pohon jambu yang selalu berbuah menjadi rebutan anak-anak malang yang tak pernah cukup menikmati makan siang, rumah dimana anggrekdan mawar menjadi hiasan sederhana menjemput tamu- tamu yang datang sedarimengamati anak- anak malang berlarian keluar masuk pintu coklat tua itu.

Takpernah terbayang, bagaimana aku harus menjemput matahari pagi denganmembangunkan mereka secara berisik, dan memaksa menuju kamar mandi untuk segeraberbenah menjemput masa depan mereka, karena aku tahu, mereka pasti jadi pejabat,dokter,  guru, dan tukang bangunanseperti mimpi si malang Dean yang selalu ingin memberi garasi mobil dan tembokpagar di sekeliling rumah perteduhan ini.

Akuselalu kagum, bilamana mereka pulang menenteng rapot setiap tutup tahun ajaran,mereka bagai pangeran dan putri raja yang selalu di nomorsatukan dalampemanggilan daftar rangking, dan aku akan repot sendiri mempersiapkan daftarbelanja sesuai permintaan masing- masing sang juara, dan Tuhan selalumengirimkan cukup berkah tiap kali anak- anak manis itu mempersembahkan namabaik untuk rumah perteduhan ini.
 “bund, boleh tidak kalau aku jadi presiden?”,Tanya Rani yang baru saja pulang dari sekolah,
“boleh dong, kenapa juga gakboleh. Kenapa emang mau jadi Presidena?” tanyaku kembali sambil membaca tanda-tanda dari matanya.
“soalnya kata bu guru tadi, kalo jadi presiden, kita bolehbuat apa aja.” Jawabnya dengan sedikit manja, dan duduk tepat disebelah ku.
“iya, kita boleh buat apa aja kalo jadi presiden, emang rani mau buat apaan?” tanyakumulai serius menanggapi dialog- dialog anak manis ini,
“mau buat kamar sendiri,biar gak berisik kalo mau belajar” jawabnya ketus dan berlalu. Aku hanya bisadiam dan memandang lajunya hingga menghilang di balik lorong.

Akutak mau ambil pusing, apalagi memilih galau untuk kemudian jadi sakit sendiri,membayangkan anak- anak manisku satu persatu sudah kemudian membuat aku merasatak berkekurangan, kalaupun rani memilih jadi presiden untuk membuat kamarnyasendiri, aku pikir akan lebih bijaksana jika dia memilih membuat Rumah baca,rumah susun, Rumah singgah, dan mungkin rumah – rumah perteduhan lain. Mungkinini PR ku atau mungkin juga PR bapak Presidennya sendiri sebelum rani turuntangan.

Akutersenyum sendiri, membayangkan Rani kecilku berdiri di Istana Negara sedarimengangkat hormat pada bendera, dan aku tidak akan datang sebagai orang yangkemudian mengungkit masalalunya di rumah perteduhan, dan berharap dia memberisumbangan terbanyak untuk rumah perteduhan kami
“tenangBun, kalo udah jadi Presiden, rani juga buatin kamar kok buat Bunda. Warnamerah seperti dalam lukisan bunda itu.” katanya mengagetkan lamunan dansekaligus memberi jawab atas harapan, bahwa anak manisku tidak akan lupabagaimana ia di besarkan.

Aiih,aku semakin betah menjadi penyelamat bagi mereka, tiap dialog- dialog singkatyang mereka bangun untuk sekedar menyapaku ataupun menanyakan sesuatu adalahpelajaran dan hiburan yang tak akan kutemukan dimanapun. Terlebih mimpi- mimpimereka untuk membangun Indonesia dengan cinta. Aku bahkan tidak pernahselancang itu untuk memimpikan duduk sebagai pejabat Negara apalagi berdirisebagai orang nomor satu untuk Indonesia, dan aku melihat betapa beraninyamereka melewati batasan dan ruang- ruang yang sudah di bangun publik, bahwaanak tanpa ayah dan ibu kandung tidak berhak untuk apapun.

Namunaku hadiahi mereka mimpi yang dititipkan Tuhan, melalui rumah perteduhan,melalaui dongeng penghantar tidur, melalui doa yang kupanjatkan sepanjangsubuh. Aku percaya, Tuhan sedang tersenyum dari surga melihat lelapnya tidurmereka.

oleh grasia renata lingga

0 komentar:

Posting Komentar