Rabu, 04 Januari 2017

Bagiku, Cinta ...

"Jika nanti kita bertemu kembali, aku ingin melamarmu dan memintamu untuk menjadi istriku"
Itu adalah ucapan terakhir dia diwaktu terakhir kami bertemu. Aku menghantarkan ia pergi dengan isak hati yang menenggelamkan penglihatanku. Aku mencoba iklas ketika ia mengusap air mataku. Aku mencoba bersabar ketika ia memelukku sebelum beberapa langkah ia meninggalkanku.
Hari ini, sudah hampir 1tahun berlalu ucapan dan suasananya. Aku masih hanyut bersama keheningan disana, di bandara soekarno hatta. Rasanya saat itu aku enggan beranjak dan menunggunya pulang kembali tanpa menghitung hari.
Jika ditanya, aku merasa bahagia atau tidak sejak itu, aku merasa tidak yakin dengan jawabanku. Menimbang dengan suasa yg aku nantikan.
Aku tidak pernah mencoba untuk diam dalam suasana ini.
Aku tau dimana waktu aku harus mengingatkan "jangan lupa shalat masa depanku :')" - "kamu harus makan syg, disana baik-baik dan tepati janjimu"
Aku slalu mencoba mengirim bbm yang untuk deliv saja susah bagaimana mungkin huruf d dilayar berubah menjadi r?
Tapi dari sini aku mengambil titik kedewasaan "mengerti". "Oh, mungkin dia sdg sibuk"
Tak jarang, aku juga akan mengirim beberapa sms untuk menanyakan hal-hal tak penting kepadanya.
Tapi dari sini lagi aku mencoba mengambil titik kedewasaan "oh, mungkin ia blm bisa diganggu"
Itu aku.
Tapi ini, bagaimana? Dalam 1tahun itu saja yang bisa aku lakukan.
Pernah, saat itu aku baru terjaga. Mencoba mengecek kotak masuk dan sebuah sms masuk dengan sedikit kalimat tak berurai.
"Selamat pagi wanita yg akan kunikahi"
Sontak aku langsung membalas pesan itu dan menunggu. Tapi suasana tak berpihak. Aku tidak mendapatkan telfon, sms balik, atau kabar lagi. Iya, sampai saat ini.
Aku mencoba menahan nafsu amarah yg menggerutu difikiranku. Aku sendiri, tanpa ada yg mendengarkan amarahku.
Kepada siapa aku akan bercerita?
aku bukan tipe orang yg tak ingin berbagi dan menerima kata orang, tapi untuk sebuah kesedihan, rasanya tidak tega membagi ini kepada teman.
Fariza, teman sekelasku pernah menyampaikan bahwa "nis, kamu ga perlu mempersulit hati kamu. Skrg apa yg buat kamu pusing dan kyk org linglung begini? Bukannya kamu pernah bilang bahwa kamu percaya dengan dia yg akan menjadi masa depanmu? Kan kamu yg bilang, bahwa cinta butuh keyakinan yg kuat!"
Iya, memang benar. Cinta butuh keyakinan yg kuat. Skrg aku yakin, dan cinta. Tapi aku butuh sedikit waktunya, tidak harus untuk menanyakan kabarku. Cukup menyapa atau bila memang sibuk aku harap ia bisa mengirim sebuah teks kosong ke handphoneku.
Kini, aku hanya bisa mempercayai kepada tuhan yg maha tahu, dan ia..
Mengingat janjinya, aku percaya bahwa menunggu adalah nilai bagaimana besar cintaku kepadanya.
----
Ntah sudah berapa lama aku berdiri dalam keheningan ruang yg sepi dan cukup membuat aku tersudut.
Ditemani bayang, kadang mimpi ia datang.
Aku mampu berdoa untuknya, aku mencintainya, dan aku persembahkan waktuku untuk menunggu.
Waktu mungkin bisa berganti, tapi hati tak akan memilih. Tahun bisa habis dengan pergantian jam di tahun berikutnya, tapi dia tidak akan habis dilewati waktu.
Rasa yg aku miliki dari awal aku miliki adalah sama, sampai rasa dimana ketika ia menemui waktu untuk meninggalkanku.
4tahun berlalu ~
Hari itu aku bertemu dengan seorang teman lamaku, ia teman SMAku.
Gentry, ia sempat menanyakan dia kepadaku. "Aku menunggu gen"
"Menunggu? Maksud mu?" Tanyanya dengan muka penuh kebingungan.
"Aku menunggu ia kembali. Datang tanpa kabar dan pergi untuk bersamaku"
"Kau mungkin bisa sabar dengan rasa menunggumu. Tapi kau mgkn blm bisa sadar dengan bagaimana ia terhadapmu"
"Aku mencintainya gen"
Disana suasana hening, gentry mengeluarkan handphonenya, dan sebuah kertas yg dibentuk seperti cover buku.
"Dika!!!" Aku menangis tanpa perlahan. Aku merasakan bahwa aku lupa untuk bernafas.
"Tapi 3tahun yg lalu. Ia pernah mengirim pesan singkat kepadaku gen! Ia mengucapkan selamat pagi dan mengulang janjinya tempo itu"
Gentry tersenyum, ia mendekatiku. Ia berubah, seperti bukan gentry yg kulihat. Dari matanya ia menatap mataku dengan cara yg perlahan dan dalam.
"Anisa, kau adalah wanita yg jauh lebih baik dr yg ia pilih. Dan dika, adalah lelaki yg jauh lebih bodoh dari aku yg memilihmu. Janji bukan akhir dari semua, janji bukan sebuah takdir yg sudah pasti akan terjadi. Itu hanya rencana dan keinginan manusia. Saat itu. Kau tidak pernah tau bagaimana cara ia menjauh darimu"
"Ia tidak mengjauh gen. Ia hanya menjalankan tugasnya terlebih dahulu. Setelah semua selesai ia akan datang tanpa kabar dan kembali untuk bersamaku!"
"Kau percaya keajaiban?"
Aku menunduk dan mencoba menahan tangisan.
"Lebih ajaibkah bukan? Ia berjanji akan menikahimu ketika ia pulang. Lalu ia tak pernah mengirim pesan atau kabar kepadamu. Lalu kini? Ia meminta wanita lain untuk dipersuntingnya. Kau wanita yg indah. Yg tidak pantas untuk menangisi lelaki yg tak pernah perduli dengan air matamu. Salah jika ada orang lain selain ia mengagumimu? Yg menggantikan ia untuk membuatmu lebih nyaman?"
"Maksudmu?" Aku menatap wajah ghentry dengan penuh keheranan.
"Aku yg slama ini mencoba menjadi dia yg kau cinta dan kau tunggu. Meski tak pernah disadari aku menghargai bahwa kau blm bisa membuka hati dan fikiran terhadap org lain. Dalam jangka 5tahun aku menyimpan rasa terhadapmu"
Gentry memelukku dengan erat, mengusap kepalaku dan mencium keningku.
Dalam suasana itu aku tenggelam. Dan mendapatkan sebuah titik kedewasaan kembali.
*seharusnya selama ini tidak ada salahnya aku melihat disekitar. Untuk berbagi tidak pernah salah. Seharusnya aku bisa lebih memilih orang yg lebih dewasa dalam mencintaiku, bukan untuk mempermainkan perasaanku. Kita tidak pernah tau bahwa sebuah keajaiban yg Allah berikan itu baik atau tidak. Yg pasti hasilnya adalah resiko yg kita ambil. Jatuh cinta karena terbiasa lebih bisa memahami kita dibanding dalam sekejab dan diminta bersama tanpa alasan*
Nia Annisa

0 komentar:

Posting Komentar