Bona.
Nama yang kudapatkan tiga tahun lalu ketika aku berhasil berdiri untuk pertama
kali semenjak aku lahir. Satu-satunya pelajaran yang kudapat dari ibuku sebelum
ia pergi meninggalkanku untuk selamanya karena menelan rumput beracun.
Ingatan pahit kematian ibu terekam
jelas dalam ingatanku. Ketika aku melihat ibu tercekik racun dalam tubuhya dan
aku hanya bisa melihatnya dari balik kaki-kaki besar gajah dewasa lainnya. Ibu
adalah satu-satunya sosok yang kucintai, kepergiannya meninggalkan luka dan
mimpi buruk yang terus merajam pikiranku bagai duri semak belukar.
Aku mengenal diriku sebagai sebatang
kara yang tinggal bersama sekelompok gajah lainnya. Nama-nama yang kuingat
tidak begitu banyak, hanya Nelson, Eva dan Niel yang kuingat, gajah-gajah
dewasa yang ada dalam kelompok ini. Sedangkan anak-anak gajah lainnya, mereka
sering memanggil namaku tapi tak satu pun nama mereka yang kuingat.
Tanpa ibu, aku merasa sangat
kesepian. Aku lebih suka menyendiri di bawah pohon atau dipinggir sungai, tidak
seperti anak-anak gajah lainnya yang begitu semangat menjalani masa kecilnya.
Selama tiga tahun aku belum bisa mengeluarkan diriku dari kesedihan, aku merasa
sangat iri dengan mereka yang memiliki ibu yang selalu bersama mereka dan
mengajarkan banyak hal. Aku merindukan ibu.
***
Aku ingat hari ini aku berusia tepat
tiga tahun. Tapi yang membuat hari ini terasa pahit, aku mengalami mimpi buruk
semalam. Hari ini menjadi hari yang berat untuk kujalani, seperti biasa aku
hanya menyendiri di bawah pohon rindang.
“Ayolah, Bona. Kamu gajah jantan
berumur tiga tahun, jangan bersedih terus, nak.” ujar Niel suatu siang saat aku berteduh di bawah pohon
rindang.
Aku hanya tersenyum kecut menanggapi
perkataan gajah jantan dewasa itu.
“Hei, Bona! Tolong ambilkan aku satu
buah apel itu dong. Itu terlalu tinggi, aku sangat ingin memakannya, buahnya
pasti enak.” Tiba-tiba seekor kelinci memintaku untuk menolongnya. Tapi aku tak
menghiraukannya dan pergi meninggalkan Niel menuju tepi sungai.
Di tepi sungai aku bertemu sapi,
lagi-lagi ia memintaku untuk menolongnya memetikkan sebuah apel dari pohon di
tepi sungai. Seperti sebelumnya, aku tak menghiraukannya dan berjalan
menyeberangi sungai.
Setibanya di seberang sungai, aku
bertemu Eva, gajah betina dewasa yang sedang berdiri di bawah pohon apel.
“Bona, tolong petikkan apel itu untukku. Aku sangat ingin memakannya, rasanya
pasti enak sekali.” Aku bingung, Eva melakukan hal yang sama seperti si kelinci
dan sapi. Dan yang membuatku bertambah bingung adalah bahwa Eva bisa memetik
apel itu sendiri jika ia mau, karena ia punya belalai yang panjang untuk
meraihnya.
“Kau bisa melakukannya sendiri,
lagipula belalaimu lebih panjang daripada belalaimu.” Aku menjawab seadanya.
Tiba-tiba aku merasakan tubuhku
didorong oleh belalai yang besar. Aku memalingkan mataku dan mendapati Nelson
di sebelahku. Belalainya yang besar mendorong tubuhku mendekati pohon apel itu.
“Mereka meminta tolong padamu,
kawan. Persis seperti yang dilakukan ibumu dulu.”
Mendengar kata-kata Nelson, aku tak
mengerti. Apa yang dilakukan ibuku dulu?
Nelson menghela napas dan berkata, “Sebelum
melahirkanmu tiga tahun yang lalu, ibumu mengatakan kepada seluruh penghuni
hutan ini bahwa ia akan melahirkan. Ia meminta tolong kepada kami semua untuk
menjaga dan merawatmu. Kematiannya adalah kejadian yang tak pernah kami sangka.
Pesan itu seperti pesan terakhir untuk kami menjagamu, Bona.”
Tubuhku
kaku, ingatan pahit itu membuatku semakin terpuruk. Aku menangis dan meraung
sejadi-jadinya, mereka yang melihatku hanya diam memperhatikanku. Ketika itu
semua para penghuni hutan mendekati dan mengelilingiku, Nelson, Eva, Niel, juga
si kelinci dan sapi yang kutemui juga berkumpul. Mungkinkah mereka yang
dimintai tolong oleh ibu? Mereka yang selama ini tak kuhiraukan.
“Bukankah
sekarang waktu yang tepat untuk membalas kebaikan kami, anak muda?” tanya
Nelson padaku.
Pertanyaan
itu menghentikan tangisku. Aku berjalan mendekati pohon apel dan menggapai
buahnya dengan belalaiku. Satu per satu aku bagikan apel itu kepada semua hewan
yang berkumpul di dekatku, setelah semuanya mendapatkan aku pun menggenggam
satu buah apel dengan belalaiku. Perlahan aku memasukkan apel hijau itu ke
dalam mulutku, rasanya manis dan airnya menyegarkan tenggorokanku. Air mata
kembali tak terbendung.
“Terimakasih.
Terimakasih telah menjaga dan merawatku selama ini. Terimakasih untuk membantu
ibuku. Maafkan aku selama ini tak menghiraukan kalian semua.” Aku berucap
sambil menangis terisak, mengingat ibu yang sangat kurindukan.
“Sama-sama,
Boni.” ujar mereka berbarengan.
“Selamat
ulang tahun, Boni. Ayolah, gajah jantang tak boleh cengeng.” kata seekor gajah
seumuranku.
Aku
hanya diam, aku tak mengingat namanya.
“Aku
Oba, ayo mandi ke sungai. Aku tahu kamu jarang mandi!” ucapan Oba sontak
membuat semua tertawa.
Terimakasih.
Senyum dan tawa kalian serta rasa apel hijau yang manis seperti menjadi obat
mujarab yang menyembuhkan lukaku. Untuk seterusnya aku akan bermimpi yang
indah. Terimakasih.
0 komentar:
Posting Komentar