Kamis, 17 November 2016

“APEL UNTUK BONA”




Bona. Nama yang kudapatkan tiga tahun lalu ketika aku berhasil berdiri untuk pertama kali semenjak aku lahir. Satu-satunya pelajaran yang kudapat dari ibuku sebelum ia pergi meninggalkanku untuk selamanya karena menelan rumput beracun.
            Ingatan pahit kematian ibu terekam jelas dalam ingatanku. Ketika aku melihat ibu tercekik racun dalam tubuhya dan aku hanya bisa melihatnya dari balik kaki-kaki besar gajah dewasa lainnya. Ibu adalah satu-satunya sosok yang kucintai, kepergiannya meninggalkan luka dan mimpi buruk yang terus merajam pikiranku bagai duri semak belukar.
            Aku mengenal diriku sebagai sebatang kara yang tinggal bersama sekelompok gajah lainnya. Nama-nama yang kuingat tidak begitu banyak, hanya Nelson, Eva dan Niel yang kuingat, gajah-gajah dewasa yang ada dalam kelompok ini. Sedangkan anak-anak gajah lainnya, mereka sering memanggil namaku tapi tak satu pun nama mereka yang kuingat.
            Tanpa ibu, aku merasa sangat kesepian. Aku lebih suka menyendiri di bawah pohon atau dipinggir sungai, tidak seperti anak-anak gajah lainnya yang begitu semangat menjalani masa kecilnya. Selama tiga tahun aku belum bisa mengeluarkan diriku dari kesedihan, aku merasa sangat iri dengan mereka yang memiliki ibu yang selalu bersama mereka dan mengajarkan banyak hal. Aku merindukan ibu.

***
            Aku ingat hari ini aku berusia tepat tiga tahun. Tapi yang membuat hari ini terasa pahit, aku mengalami mimpi buruk semalam. Hari ini menjadi hari yang berat untuk kujalani, seperti biasa aku hanya menyendiri di bawah pohon rindang.
            “Ayolah, Bona. Kamu gajah jantan berumur tiga tahun, jangan bersedih terus, nak.” ujar Niel  suatu siang saat aku berteduh di bawah pohon rindang.
            Aku hanya tersenyum kecut menanggapi perkataan gajah jantan dewasa itu.
            “Hei, Bona! Tolong ambilkan aku satu buah apel itu dong. Itu terlalu tinggi, aku sangat ingin memakannya, buahnya pasti enak.” Tiba-tiba seekor kelinci memintaku untuk menolongnya. Tapi aku tak menghiraukannya dan pergi meninggalkan Niel menuju tepi sungai.
            Di tepi sungai aku bertemu sapi, lagi-lagi ia memintaku untuk menolongnya memetikkan sebuah apel dari pohon di tepi sungai. Seperti sebelumnya, aku tak menghiraukannya dan berjalan menyeberangi sungai.
            Setibanya di seberang sungai, aku bertemu Eva, gajah betina dewasa yang sedang berdiri di bawah pohon apel. “Bona, tolong petikkan apel itu untukku. Aku sangat ingin memakannya, rasanya pasti enak sekali.” Aku bingung, Eva melakukan hal yang sama seperti si kelinci dan sapi. Dan yang membuatku bertambah bingung adalah bahwa Eva bisa memetik apel itu sendiri jika ia mau, karena ia punya belalai yang panjang untuk meraihnya.
            “Kau bisa melakukannya sendiri, lagipula belalaimu lebih panjang daripada belalaimu.” Aku menjawab seadanya.
            Tiba-tiba aku merasakan tubuhku didorong oleh belalai yang besar. Aku memalingkan mataku dan mendapati Nelson di sebelahku. Belalainya yang besar mendorong tubuhku mendekati pohon apel itu.
            “Mereka meminta tolong padamu, kawan. Persis seperti yang dilakukan ibumu dulu.”
            Mendengar kata-kata Nelson, aku tak mengerti. Apa yang dilakukan ibuku dulu?
            Nelson menghela napas dan berkata, “Sebelum melahirkanmu tiga tahun yang lalu, ibumu mengatakan kepada seluruh penghuni hutan ini bahwa ia akan melahirkan. Ia meminta tolong kepada kami semua untuk menjaga dan merawatmu. Kematiannya adalah kejadian yang tak pernah kami sangka. Pesan itu seperti pesan terakhir untuk kami menjagamu, Bona.”
Tubuhku kaku, ingatan pahit itu membuatku semakin terpuruk. Aku menangis dan meraung sejadi-jadinya, mereka yang melihatku hanya diam memperhatikanku. Ketika itu semua para penghuni hutan mendekati dan mengelilingiku, Nelson, Eva, Niel, juga si kelinci dan sapi yang kutemui juga berkumpul. Mungkinkah mereka yang dimintai tolong oleh ibu? Mereka yang selama ini tak kuhiraukan.
“Bukankah sekarang waktu yang tepat untuk membalas kebaikan kami, anak muda?” tanya Nelson padaku.
Pertanyaan itu menghentikan tangisku. Aku berjalan mendekati pohon apel dan menggapai buahnya dengan belalaiku. Satu per satu aku bagikan apel itu kepada semua hewan yang berkumpul di dekatku, setelah semuanya mendapatkan aku pun menggenggam satu buah apel dengan belalaiku. Perlahan aku memasukkan apel hijau itu ke dalam mulutku, rasanya manis dan airnya menyegarkan tenggorokanku. Air mata kembali tak terbendung.
“Terimakasih. Terimakasih telah menjaga dan merawatku selama ini. Terimakasih untuk membantu ibuku. Maafkan aku selama ini tak menghiraukan kalian semua.” Aku berucap sambil menangis terisak, mengingat ibu yang sangat kurindukan.
“Sama-sama, Boni.” ujar mereka berbarengan.
“Selamat ulang tahun, Boni. Ayolah, gajah jantang tak boleh cengeng.” kata seekor gajah seumuranku.
Aku hanya diam, aku tak mengingat namanya.
“Aku Oba, ayo mandi ke sungai. Aku tahu kamu jarang mandi!” ucapan Oba sontak membuat semua tertawa.

Terimakasih. Senyum dan tawa kalian serta rasa apel hijau yang manis seperti menjadi obat mujarab yang menyembuhkan lukaku. Untuk seterusnya aku akan bermimpi yang indah. Terimakasih. 

0 komentar:

Posting Komentar