“Fitri!” panggil Dinda ketika baru saja tiba di sekolah. Fitri yang baru saja memarkir sepedanya langsung menoleh. Di kejauhan, Dinda melambaikan tangan.
“Ada apa?” tanya Fitri setibanya di hadapan Dinda.
“Lihat,” kata Dinda sambil memperhatikan jam tangannya yang baru. Fitri terpesona menatap jam tangan Dinda yang memang sangat indah. Bentuknya sangat unik. Tampaknya, jam tangan ini amat mahal. Kalau sudah begitu, dapat dipastikan tidak ada seorang pun di kelas Fitri yang memiliki jam tangan seindah milik Dinda.
“Wah, indah sekali!” seru Fitri. Dinda tertawa senang dan bangga.
“Siapa yang membelikan jam tangan ini?” tanya Megi yang tiba-tiba sudah berada di antara mereka.
“Mama yang memelikan,” jawab Dinda.
“Mamamu pintar sekali memilihkan jam tangan seperti ini,” puji Fitri.
“Sebetulnya, bukan Mama yang memilihkan jam tangan ini, tapi aku sendiri yang melihat contohnya di iklan televisi seminggu yang lalu,” jelas Dinda.
“Oh …” Megi dan Fitri mengangguk mengerti. Tapi dalam hati, Fitri berpikir dan bertanya-tanya. Kok, Fitri nggak pernah melihat iklan tersebut di televisi?
Begitu pulang sekolah, Fitri langsung menyalakan televisi di ruang keluarga tanpa berganti pakaian terlebih dahulu. Yang ingin dilihat, tentu saja iklannya. Apalagi, ketika tadi di kelas, Irma memperlihatkan sepatu barunya. Iwan sangat keren dengan tas hitamnya yang baru. Rudi setiap kali mengganti pensilnya yang berwarna-warni. Dan asal tahu saja, semua teman Fitri membeli barang-barang tersebut karena semua barang itu telah diiklankan stasiun televisi.
Mata Fitri langsung terbuka lebar ketika di televisi diiklankan sebuah pakaian yang sangat indah.
“Wah, baju tersebut harus aku miliki dan sepertinya cocok untuk pergi ke pesta ulang tahun Santi minggu depan,” gumam Fitri bersemangat. Minggu depan, Santi akan merayakan ulang tahunnya. Di rumahnya akan diadakan pesta. Semua kawan sekelas di undang, termasuk Fitri.
Pada sore harinya, Fitri merengek-rengek ingin dibelikan baju baru kepada ayah dan ibunya.
“Aduh, kemarin baru dibelikan baju sama Ayah, kok sekarang ingin dibelikan lagi?” tanya Ayah bingung.
“Yang ini lain, Yah,” rengek Fitri. “Karena baju ini, tidak ada renda-rendanya. Kalau model yang ada renda-rendanya, semua teman Fitri juga punya. Fitri ingin yang lain dari teman-teman.” Akhirnya, Ayah dan Ibu pun mengalah dan berjanji akan membelikan baju tersebut. Wajah Fitri yang murung seketika cerah.
“Horeee …!” teriak Fitri gembira. Diciumnya kedua pipi orang tuanya.
Esoknya, Fitri bergabung dengan teman-temannya membicarakan barang-barang yang baru mereka beli.
Suatu malam, ketika Ayah, Ibu, Fitri, dan si Bungsu, Fajar — sedang menonton televisi, tiba-tiba Fitri menunjuk ke arah layar televisi.
“Ibu, lihat!” kata Fitri tiba-tiba. Fajar yang duduk di sampingnya kaget.
“Ya, ampun, seperti Tarzan,” gurau Fajar, tetapi Fitri tidak menghiraukannya. Fitri lebih tertarik menatap layar televisi.
“Bu, besok di supermarket, jangan lupa beli permen seperti itu,” pinta Fitri. Ibu hanya tersenyum. Pada saat televisi mengiklankan cokelat, Fitri pun ingin langsung membeli juga.
“Aduh, Kak Fitri ini korban iklan baget, sih,” komentar Fajar.
Ayah dan Ibunya langsung tertawa, sedangkan Fitri malah cemberut dan mencubit lengan adiknya.
Ketika sarapan pagi, fitri kembali mengingatkan Ibu untuk membeli permen dan cokelat seperti yang diiklankan stasiun televisi. Ayah yang sedang membaca koran pun langsung menoleh.
“Wah, untung Fitri tidak minta dibelikan mobil yang kemarin diiklankan di televisi,” canda Ayah.
“Fitri,” kata Ibu sambil mendekati Fitri dan duduk di sampingnya.
“Tidak baik kalau harus terus-terusan menghabiskan uang untuk kesenangan sendiri. Kemarin, Fitri sudah minta dibelikan baju, sekarang sudah minta dibelikan permen dan cokelat. Kalau menurut Ibu dan Ayah, sebuah baju baru sudah cukup. Lagi pula, di rumah banyak permen dan cokelat, buat apa kita harus membelinya lagi? Dan Ibu yakin, permen dan cokelat yang ada di rumah lebih enak dibandingkan dengan yang ada di iklan.”
“Kalau Fitri terlalu banyak makan permen dan cokelat, nanti giginya sakit,” kata Ayah sambil tersenyum. “Rugi dong, sudah cantik dengan baju baru, tetapi giginya ompong.”
“Iiih … Ayah gitu, deh!” kata Fitri sambil memukul lengan ayahnya. Ayah dan Ibu pun tertawa. Akan tetapi dalam hati, Fitri ketakutan dan berjanji akan menjaga giginya agar tidak ompong. Lalu, Fitri langsung membatalkan permintaannya membeli permen dan cokelat.
Akhirnya, tibalah saat yang dinanti-nantikan Fitri, yaitu pesta ulang tahun Santi. Dari rumah, Fitri sudah rapi dan tampak cantik. Fitri bangga sekali memakai baju baru. Apalagi, baju baru ini sering diiklankan stasiun televisi. Ibu bersedia mengantar Fitri ke pesta.
Setibanya di rumah Santi, betapa terkejutnya Fitri sebab Santi mengenakan baju yang sama dengan dirinya. Lalu, ketika Fitri menemui Irma dan Megi di dalam ruangan lain, Fitri melotot ke arah dua kawannya itu. Mereka memakai baju yang sama dengan yang Fitri kenakan. Aduh, mau menangis rasanya. Fitri langsung cemberut. Ibu hanya tersenyum melihat tingkah anaknya itu.
“Fit, kok di dalam pesta cemberut?” tanya Ibu sambil mengusap rambutv Fitri. Fitri hanya diam. Di dalam hatinya, Fitri kecewa berat sebab keinginannya untuk tampil beda dari teman-temannya tidak berhasil. Apalagi, ketika Fitri melihat Lela, Yuni, dan sebagian teman lainnya memakai baju yang sama juga. Pada pesta ulang tahun itu, memang banyak yang mengenakan baju yang sama.
“Ah, nyesel! Gara-gara iklan baju di televisi!” gerutu Fitri.
Cerpen Karangan: Edi Warsidi